Selasa, 12 April 2011

Day 11 : Kursi Roda

Pagi itu saya hendak pergi ke kampus dengan menggunakkan angkutan umum. Seperti biasa pagi hari di Tubagus Ismail Raya-Simpang Dago sudah pasti macet. Dalam kemacetan itu saya memandang keluar, melihat bermacam-macam kegiatan manusia pagi. Rutinitas seperti layaknya di berbagai tempat lain sejenis. Ada yang berjualan, ada yang membeli, ada yang tergesa berlari, ada yang berjalan santai, ada yang menjaga kelancaran lalulintas di saat yang lain membuat lalulintas tersebut semakin macet, ada yang membersihkan jalan di saat yang lain mengotorinya. Tiba-tiba sebuah sosok tidak biasa hadir melintasi pandangan saya. Sosok yang belum pernah saya lihat sebelumnya di jalan yang sama yang hampir setiap pagi dilewati.

Ialah sesosok pria, saya takar umurnya pertengahan 30. Tubuhnya kecil, kakinya tidak sempurna. Pada sebuah kursi roda, ia meletakkan tubuhnya supaya dapat berpindah. Ia memangku seorang gadis kecil yang memakai seragam sekolah dasar. Gadis kecil itu ceria, sama seperti pria yang memangkunya. Wajah keduanya mirip. Saya menyimpulkan pria itu adalah ayah dari si gadis kecil, hendak mengantarkannya ke sekolah.

Dengan kursi roda, ia mengantarkan anaknya. Sungguh saya tersentuh melihat pemandangan itu. Dalam ketidaksempurnaanya, keterbatasan fisik pria itu sanggup melakukan hal yang bahkan ayah-ayah lain di jagad raya ini mungkin tidak sempat melakukannya.

Pemandangan itu menyentil hati dan otak saya. Begitu sering saya mengeluhkan hal-hal kecil dan remeh. Waktu itu saya masih kuliah, ada saja yang dikeluhkan ; banyak tugas, tugasnya susah, dosen nyebelin, soal ujian susah, cuaca buruk, jalanan macet dan banyak ini itu lainnya. Ya ampun, bukannya bersyukur sudah diberi fasilitas super lengkap dari orang tua, hanya tinggal belajar saja, masih saja mengeluh dan malah malas.

Di depan mata saya, pria di kursi roda itu mengalami hal yang jauh lebih berat dalam hidupnya. Saya tidak tahu apakah ia mengeluh atau tidak. Tapi ekspresi sukacita jelas terlihat di wajahnya. Padahal pasti ia kelelahan berpayah mengemudikan kursi rodanya di jalan raya yang tidak mulus dan banyak hambatan lainnya, ditambah sambil menanggung bobot tubuh putrinya. Pagi itu saya diingatkan kembali, bahwa saya tidak pantas mengeluh. Saya harus lebih bersyukur lagi atas apa yang ada pada diri saya. Dan dalam setiap hambatan yang menghadang, kata menyerah itu pantang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;